MEDIA SCANTER - PUSAT KOREKSI LEMBAR JAWAB KOMPUTER

Bahasa Indonesia Lepas dari Tekanan Negara

JAKARTA, KOMPAS.com — Perubahan politik dari Orde baru ke Era Reformasi dengan bertambahnya otonomi daerah ternyata juga mengubah kebijakan bahasa. Bahasa Indonesia agak lepas dari tekanan negara sebagai alat pengikat beraneka suku bangsa di Indonesia yang mempersatukan negara republik.

Tidak hanya bahasa daerah saja, bahasa Inggris dan Mandarin juga mulai dipakai untuk program berita.
-- Mikihiro Moriyama

Selama ini, bahasa Indonesia sebagai simbol persatuan negara dan bahasa nasional diakui sebagai bahasa yang sah dan dapat dikembangkan oleh negara. Kebijakan bahasa tersebut berubah sehingga bahasa Indonesia agak bebas dari kontrol kekuasaan. Begitu juga bahasa-bahasa daerah dan bahasa asing yang mempunyai ruang tersendiri. Tidak lagi ditekan di bawah hegemoni bahasa nasional sehingga mempunyai kebebasan.
Demikian dikatakan Guru Besar Universitas Nanzan di Nagoya, Jepang, Mikihiro Moriyama pada peluncuran buku Geliat Bahasa Selaras Zaman (Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia, 2010), Rabu (24/2/2010) di Pusat Bahasa Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas), Jakarta.
Mikihiro adalah salah seorang penggagas lokakarya "Perubahan Konfigurasi Kebahasaan di Indonesia Pasca-Orde Baru" di Kampus UI Depok, Juni 2008 lalu. Menurutnya, bahasa asing telah memasuki kehidupan sehari-hari di masyarakat. Pemakaian kata-kata asing semakin menonjol dan bahasa baru pun dikreasi. Bahkan, dalam siaran televisi, bahasa daerah, seperti bahasa Jawa, Sunda, dan Bali, sudah dipakai untuk acara warta berita dan acara-acara lainnya.
"Tidak hanya bahasa daerah saja, bahasa Inggris dan Mandarin juga mulai dipakai untuk program berita," ungkapnya.
Jan van Der Putten, peneliti dan pengajar Universitas Nasional Singapura yang membahas tentang "Bongkar Bahasa: Meninjau kembali Konsep yang Beraneka Makna dan Beragam Fungsi", mengatakan, institusi dalam berbahasa, yakni pihak pengguna atau penutur serta pengatur, tak bisa tidak mesti berbenturan atau berhadapan.
"Kedua belah pihak akan saling menuduh dan saling tuding-menuding dalam penentuan pihak mana paling bertanggung jawab atas perusakan bahasa yang sedang berlangsung dan dirasakan semakin keras mendera bahasa tersebut. Keluh kesah serta kritik terhadap penggunaan sebuah bahasa sepertinya adalah gejala yang menjadi bagian dari praktik diskursif bahasa itu sendiri," katanya.
Menurut Jan, bukannya bahasa menunjukkan bangsa, melainkan bahasa membuat atau membentuk bangsa. Bahasa digunakan sebagai rujukan terhadap praktik sosial, dan bukan sebagai pencerminan jiwa bangsa yang pasif.
"Konsep bahasa seperti ini perlu dibongkar," ujarnya.
Sementara menurut Untung Yuwono, peneliti dan pengajar Universitas Indonesia yang mengkaji ungkapan serapah dalam bahasa gaul mutakhir, mengatakan, tahun 1999, di tengah-tengah kehausan masyarakat Indonesia akan kebebasan pascakejatuhan rezim Soeharto, menjadi salah satu titik penting dalam kontinum perkembangan bahasa Indonesia ragam kaum muda.
Titik penting itu ditandai dengan dikenalnya istilah bahasa gaul. Dukungan penyebarluasan bahasa gaul selain datang dari industri penerbitan, juga datang dari industri pertelevisian yang memasarkan bahasa gaul melalui iklan, sinetron, dan acara-acara berita dan hiburan.
"Industri film remaja juga tak mau kalah mencontohkan pemakaian bahasa gaul melalui produksi film-film remaja. Di luar itu, media komunikasi melalui komputer menjadi wadah penyuburan pemakaian bahasa gaul," jelasnya.
Dalam buku Geliat Bahasa Selaras Zaman yang diluncurkan tersebut, ada 14 peneliti dari dalam dan luar negeri yang memaparkan penelitiannya tentang fenomena kebahasaan yang dinamis di Era Reformasi.